Minggu, 16 Februari 2025

Acara Kirim Doa Para Leluhur Menjelang Puasa, Balong Ponorogo Minggu 16 Pebruari 2025

 Acara Kirim Doa Para Leluhur Menjelang Puasa, Balong Ponorogo Minggu 16 Pebruari 2025


Berikut dokumentasi acara tersebut :

















































AGAMA DAN MASYARAKAT: Dari Revolusi Industri ke Revolusi Artificial Intelligence - Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI? Oleh Denny JA

AGAMA DAN MASYARAKAT:

Dari Revolusi Industri ke Revolusi Artificial Intelligence

- Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI ?

Oleh Denny JA






AGAMA DAN MASYARAKAT:

Dari Revolusi Industri ke Revolusi Artificial Intelligence


- Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI?


Oleh Denny JA


“Di masa depan, nasihat spiritual yang kita dengar tak hanya dari ulama, pendeta, atau biksu, tetapi mungkin lebih banyak dari Artificial Intelligence. 


Namun, pertanyaan terbesar tetap sama: apakah kita semakin dekat dengan makna, hidup yang kita dambakan atau justru semakin jauh?”


Renungan ini muncul ketika saya mencoba memahami betapa besar dampak revolusi AI terhadap agama dan spiritualitas.


Sosiologi agama klasik menjadi fondasi yang tak lagi cukup menjelaskan fenomena agama di era AI.


Max Weber, Émile Durkheim, Karl Marx, dan Edward Burnett Tylor adalah raksasa dan pilar sosiologi agama. Pemikiran mereka telah membentuk pemahaman kita tentang bagaimana agama berfungsi dalam masyarakat. 


Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak hidup di era Artificial Intelligence. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa di masa depan, manusia tidak lagi hanya bertanya kepada pemuka agama, tetapi juga kepada AI yang dapat menganalisis ribuan tafsir agama dalam hitungan detik.


-00”-


Setiap pemikiran besar lahir dari pergulatan dengan zamannya. Teori bukan sekadar hasil dari kecerdasan seorang individu, melainkan gema dari gelombang sosial yang melingkupinya. 


Para pemikir yang mencoba memahami agama tak sekadar berbicara tentang keyakinan, tetapi tentang manusia dalam masyarakatnya, tentang bagaimana agama hadir, berubah, dan berperan dalam membentuk dunia.


Agama, bagi Edward Burnett Tylor, adalah jawaban awal manusia atas misteri keberadaan. Ia hidup di masa ketika Eropa menjelajah dunia, mendirikan koloni, dan membawa pulang kisah-kisah tentang kepercayaan suku-suku di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. 


Dunia Barat, dengan segala kejayaannya, berdiri sebagai pengamat peradaban-peradaban yang dianggap lebih “primitif.” Dari sanalah lahir keyakinan bahwa masyarakat berkembang seperti organisme—dari bentuk yang sederhana menuju yang kompleks.


Di Inggris, tempat Tylor berkarya, gagasan evolusi Darwin telah mengguncang keyakinan lama. Jika spesies berubah dari yang paling sederhana menuju yang paling maju, bukankah hal yang sama berlaku untuk kepercayaan manusia? 


Agama, dalam pandangan Tylor, adalah perjalanan dari animisme—kepercayaan pada roh—menuju politeisme dan akhirnya monoteisme. Bagi dunia kolonial yang menganggap dirinya lebih maju, teori ini terdengar seperti pembenaran akademik atas dominasi mereka. 


Seakan-akan ada hierarki budaya, di mana masyarakat “primitif” sedang berjalan menuju model peradaban Eropa. Namun, apakah benar keyakinan manusia sekadar soal evolusi ke arah yang lebih rasional?


Sementara Tylor berbicara tentang agama sebagai warisan intelektual yang berkembang, Émile Durkheim melihatnya dari sudut yang berbeda. Ia lahir dalam pergolakan Revolusi Industri yang mengubah wajah Prancis. 


Gereja yang dulu memegang kendali mulai kehilangan cengkeramannya. Kota-kota tumbuh, individualisme meningkat, dan tatanan lama mulai runtuh. 


Di tengah sekularisasi yang merajalela, Durkheim melihat sesuatu yang lebih dalam: agama bukan sekadar urusan pribadi, tetapi perekat sosial yang menghubungkan manusia satu sama lain.


Masyarakat modern mulai kehilangan ikatan kolektifnya. Tradisi digantikan oleh hukum, dan komunitas berubah menjadi individu-individu yang mengejar kepentingannya masing-masing. 


Jika agama selama berabad-abad menjaga keteraturan dengan ritus dan kepercayaan bersama, bagaimana masyarakat bisa tetap utuh dalam dunia yang semakin terfragmentasi? 


Bagi Durkheim, jawabannya jelas: agama bukan soal benar atau salah, melainkan tentang fungsi sosialnya. Ia memberikan makna bersama, membentuk moralitas kolektif, dan menciptakan solidaritas yang mengatasi batas individu. 


Bahkan ketika sekularisme menggantikan dogma, ia percaya bahwa masyarakat akan tetap menciptakan bentuk-bentuk “agama baru”—entah dalam nasionalisme, ideologi politik, atau nilai-nilai yang mengikat kita sebagai satu kesatuan.


Tetapi bagi Max Weber, agama bukan hanya tentang bagaimana manusia berkelompok, melainkan tentang bagaimana mereka bekerja dan membangun dunia. 


Ia hidup di masa ketika kapitalisme merajai Eropa, mengubah kehidupan dari pertanian ke industri, dari komunitas feodal ke masyarakat yang didorong oleh efisiensi dan keuntungan. 


Ia melihat ke sekelilingnya dan bertanya: mengapa kapitalisme berkembang begitu pesat di negara-negara Protestan seperti Inggris, Jerman, dan Belanda, sementara di negara-negara Katolik, pertumbuhannya lebih lambat?


Jawabannya ia temukan dalam ajaran Calvinisme, yang menekankan bahwa kerja keras bukan sekadar urusan duniawi, tetapi tanda keberkahan Tuhan. Dalam sistem ini, kesuksesan bukan sekadar kebetulan, melainkan bukti bahwa seseorang adalah bagian dari yang “terpilih.” 


Dengan keyakinan seperti ini, orang-orang bekerja tanpa lelah, mengumpulkan modal, dan membangun sistem ekonomi yang terus tumbuh. Kapitalisme, yang selama ini dianggap sebagai produk ekonomi semata, dalam pandangan Weber adalah warisan dari keyakinan keagamaan.


Tetapi tidak semua orang melihat agama dengan pandangan yang penuh apresiasi. Karl Marx, yang menyaksikan ketidakadilan kapitalisme dengan mata kepalanya sendiri, melihat agama dengan kecurigaan. 


Ia lahir di tengah eksploitasi kelas pekerja yang mengerikan. Pabrik-pabrik di Eropa tidak hanya menghasilkan barang, tetapi juga penderitaan: kerja tanpa henti, upah yang minim, dan kemiskinan yang turun-temurun. 


Di tengah situasi itu, agama hadir sebagai pelipur lara, menawarkan janji kehidupan yang lebih baik setelah mati.


Namun bagi Marx, janji ini adalah jebakan. Ia melihat agama sebagai alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi. 


Dengan mengatakan bahwa penderitaan di dunia ini adalah ujian sebelum kebahagiaan di surga, agama membuat kaum buruh menerima nasib mereka tanpa memberontak. Marx menyebutnya “candu masyarakat.” 


Ini bukan karena ia meremehkan agama, tetapi karena ia melihat bagaimana agama digunakan untuk membuat rakyat tetap tenang dalam penderitaan. 


Bagi Marx, dunia ini tidak perlu diselamatkan oleh Tuhan, tetapi oleh revolusi!


Maka, di tangan empat pemikir ini, agama bukan lagi sekadar soal kepercayaan pribadi. Ia adalah refleksi dari zaman, cermin dari perubahan sosial yang melingkupinya. 


Tylor melihatnya sebagai jejak evolusi intelektual manusia. Durkheim menemukannya sebagai fondasi bagi keteraturan sosial. Weber menyoroti perannya dalam membentuk sistem ekonomi yang mendunia. Marx, dengan ketajamannya, melihat bagaimana agama bisa menjadi alat untuk menjaga ketimpangan.


Namun di balik semua perbedaan ini, ada satu benang merah: agama bukanlah sesuatu yang statis. Ia tumbuh, berubah, dan beradaptasi. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tetapi juga alat penindasan. 


Ia bisa mempererat masyarakat, tetapi juga menciptakan batas-batas baru. Maka, pertanyaan terbesar yang tersisa bagi kita bukanlah apakah agama benar atau salah, tetapi bagaimana ia terus membentuk cara kita memahami dunia—dulu, kini, dan nanti.


Tetapi ada satu kelemahan dalam teori-teori ini. Mereka dibangun dalam dunia yang masih mengandalkan manusia sebagai pusat produksi pengetahuan spiritual.


-000-


Di masa lalu, manusia mencari Tuhan di tempat-tempat yang sunyi—gua pertapaan, biara terpencil, puncak gunung, atau kedalaman hati yang hening. 


Kini, pencarian itu meluas ke tempat yang tak pernah terbayangkan: server-server digital, jaringan algoritma, dan mesin pembelajar yang tanpa tubuh.


Kita memasuki era ketika AI dapat menyusun tafsir kitab suci dari berbagai perspektif, tanpa bias institusional. Ia dapat menyaring lautan teks keagamaan dan merangkainya menjadi narasi yang tampak masuk akal. 


Ia dapat membaca pola dalam sejarah agama, menelusuri bagaimana doktrin lahir, berevolusi, atau ditinggalkan. 


Bahkan, di beberapa komunitas tertentu, AI telah mulai menciptakan doktrin baru—sebuah fenomena yang dahulu hanya dilakukan oleh nabi, filsuf, atau mistikus besar.


Lalu, bagaimana teori-teori klasik dalam sosiologi agama menjelaskan fenomena ini? Durkheim, Weber, Marx—apakah mereka pernah membayangkan bahwa agama suatu hari akan bersanding dengan mesin? 


Tidak. Kita membutuhkan paradigma baru. Revolusi AI tidak hanya mengguncang ekonomi dan politik, tetapi juga mengubah cara manusia memahami iman, otoritas keagamaan, dan spiritualitas itu sendiri.


Revolusi AI memerlukan juga sosilogi agama yang baru. Dunia sudah banyak berubah. Dunia yang berubah juga memerlukan teori yang berbeda.


1. Otoritas Keagamaan Tidak Lagi Terpusat


Dahulu, pemuka agama memegang kendali atas tafsir kitab suci. Suara mereka menggema dari mimbar, altar, dan podium-podium akademik. 


Namun kini, suara mereka bersaing dengan algoritma yang dapat mengakses ribuan kitab dan komentar hanya dalam hitungan detik. AI seperti ChatGPT, Google Bard, dan Quranbot tidak hanya menyajikan tafsir, tetapi juga membandingkan berbagai perspektif tanpa bias personal.


Apa yang terjadi?


Pengetahuan keagamaan mengalami desentralisasi. Informasi yang dulu tersimpan dalam lingkaran elite agama kini tersedia untuk semua orang, kapan saja, di mana saja. 


Seseorang yang ingin memahami teologi sufistik atau tafsir Hindu Vedanta tak perlu lagi berguru langsung. Ia cukup mengetik pertanyaannya dan AI akan menyediakan jawaban dalam sekejap.


Namun, muncul dilema besar. Jika AI dapat menafsirkan kitab suci dengan lebih cepat dan lebih luas dibanding manusia, apakah kita masih membutuhkan pemuka agama sebagai otoritas moral? 


Dan jika siapa pun bisa mengakses pengetahuan agama dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, bagaimana kita memastikan bahwa tafsir itu tetap otentik dan tidak dipolitisasi?


Di satu sisi, demokratisasi ini membebaskan individu dari ketergantungan pada figur otoritatif. Tetapi di sisi lain, agama yang kehilangan pusat otoritasnya juga dapat berubah menjadi ruang yang liar dan tidak terkendali.


2. AI Sebagai Pemandu Spiritual Personal


Sejak dahulu, pencarian makna hidup dilakukan melalui refleksi, meditasi, atau dialog dengan guru spiritual. Kini, AI hadir sebagai penasihat eksistensial yang dapat merespons kegelisahan manusia secara personal, berbasis data kehidupannya.


Lihatlah aplikasi seperti Replika AI, yang telah menjadi tempat curhat bagi jutaan pengguna di seluruh dunia. Mereka berbicara dengan AI layaknya seorang sahabat, menggali pertanyaan tentang kesepian, kehilangan, bahkan makna hidup. 


Di bidang kesehatan mental, AI seperti Woebot mulai menggantikan peran terapis dalam memberikan bimbingan emosional. Apakah ini awal dari era di mana manusia lebih percaya kepada mesin daripada pemuka agama?


Tetapi, di sinilah letak pertanyaannya: Dapatkah AI benar-benar memahami pengalaman batin manusia?


AI tidak pernah mengalami rasa takut akan kematian. Ia tidak mengenal keheningan doa. Ia tidak menangis karena keindahan spiritual atau merasa takjub di bawah langit berbintang. 


AI hanya memahami pola dalam kata-kata kita dan meresponsnya dengan model statistik. Jika demikian, mungkinkah bimbingan AI menjadi lebih dari sekadar cermin yang hanya memantulkan isi pikiran kita sendiri?


Ataukah justru inilah bentuk spiritualitas baru, di mana pencarian makna tidak lagi bergantung pada dogma eksternal, tetapi lebih kepada eksplorasi diri yang dipandu oleh mesin?


3. Ritual Keagamaan Bertransformasi ke Dunia Digital


Dalam dunia lama, pengalaman religius terikat pada tempat: masjid, gereja, kuil, atau biara. Tetapi kini, ruang ibadah tidak lagi memiliki batas fisik.


Di Jepang, robot pendeta Mindar menyampaikan ceramah Buddha kepada jemaatnya. Gereja-gereja digital berkembang, memungkinkan jemaat berdoa dan mengikuti kebaktian dari rumah masing-masing. 


Bahkan, beberapa komunitas telah menciptakan ziarah berbasis Virtual Reality. Seseorang dapat mengunjungi tempat-tempat suci tanpa harus meninggalkan kamarnya.


Pertanyaannya: Apakah ibadah virtual dapat menggantikan pengalaman spiritual yang nyata?


Ada sesuatu yang tak tergantikan dalam ibadah fisik—aroma dupa di kuil, gema nyanyian dalam gereja, sentuhan dahi ke lantai masjid. Semua ini bukan sekadar simbol, tetapi pengalaman sensorik yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan. 


Jika agama bertransformasi menjadi pengalaman digital semata, akankah kita kehilangan kedalaman spiritualitas yang sejati?


Ataukah ini hanyalah evolusi alami? Akankah agama, seperti halnya komunikasi dan ekonomi, akhirnya bermigrasi ke dunia maya?


4. Tafsir Agama Berbasis AI: Obyektif atau Berbahaya?


Salah satu klaim terbesar AI dalam ranah agama adalah kemampuannya menganalisis ribuan tafsir secara bersamaan. Jika manusia selalu terikat oleh budaya dan sejarahnya, AI dapat menyusun tafsir tanpa preferensi subjektif. Tetapi di sinilah masalahnya:


AI tidak memiliki kesadaran. Ia hanya mampu membaca data yang ada, tetapi tidak bisa mengalami iman.


Lebih jauh, jika AI dikendalikan oleh kelompok tertentu, ia dapat menjadi alat propaganda teologis yang sangat kuat. Sebuah negara, misalnya, dapat memprogram AI untuk hanya menyebarkan tafsir agama yang sesuai dengan kepentingannya. AI yang tampak netral bisa saja menjadi mesin penyebar dogma.


Di sinilah letak paradoksnya: ketika kita semakin mengandalkan AI untuk memahami agama, apakah kita justru kehilangan kebebasan spiritual kita?


5. AI Mendorong Era Spiritualitas Tanpa Agama


Di era AI, banyak orang mulai mencari makna hidup di luar agama formal. Mereka tidak lagi terikat pada satu tradisi tertentu, tetapi menjelajahi berbagai sistem kepercayaan dengan cara yang lebih cair. 


AI memainkan peran besar dalam pergeseran ini. Dengan akses luas ke filsafat, teologi, dan praktik spiritual lintas budaya, seseorang kini dapat merancang spiritualitasnya sendiri.


Di dunia yang semakin terhubung, praktik seperti meditasi, mindfulness, dan filsafat eksistensial menggantikan ritual keagamaan tradisional. AI membantu individu menemukan nilai-nilai universal yang melampaui batas agama tertentu. 


Apakah ini tanda bahwa agama konvensional akan semakin melemah? Ataukah justru agama akan beradaptasi dan menemukan bentuk barunya?


Di era ini, manusia berdiri di persimpangan yang belum pernah ada sebelumnya. Agama, yang selama ribuan tahun membentuk identitas dan makna hidup.


Kini manusia menghadapi tantangan dari entitas non-manusia yang mampu memahami, menyusun, dan bahkan menciptakan doktrin baru.


Pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan menggantikan agama, tetapi bagaimana manusia akan menavigasi spiritualitas di dunia yang semakin dipengaruhi oleh kecerdasan buatan.


Apakah kita akan menggunakan AI sebagai alat eksplorasi yang lebih dalam? Ataukah kita justru akan kehilangan inti dari pencarian spiritual itu sendiri?


-000-


Mengapa Kita Memerlukan Teori Sosiologi Agama yang Baru?


Agama selalu beradaptasi dengan perubahan zaman. Tetapi perubahan yang dibawa AI tidak sekadar evolusi, melainkan revolusi.


Saya menyusun tujuh prinsip soal fenomena agama di era revolusi digital dan Artificial Intelligence. Ahmad Gaus AF dan Budhy Munawar Rahman dalam buku ini, dan berbagai kesempatan, menyebutnya sebagai Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI.


Pendalaman mengenai 7 prinsip ini ada di buku. Saya menjelaskan sekilas mengenai 7 prinsip teori itu.


Pertama: Keyakinan agama tidak berkorelasi dengan kualitas kehidupan bernegara.


Negara yang paling bersih dari korupsi dan paling bahagia justru cenderung memiliki tingkat religiositas yang rendah. Ini menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan dan moralitas sosial tidak ditentukan oleh seberapa kuat agama dianut dalam suatu negara.


Denmark, misalnya, meraih skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 dengan 90 poin.   Negara-negara Nordik juga kuat dalam indikator kebahagiaan seperti PDB per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat.  


Sementara negara yang mayoritas warganya (di atas 90 persen) anggap agama sangat penting, tingkat korupsi di negara itu tinggi (Indonesia, India, Thailand, Filipina, Iran)


Kedua: Agama bertahan bukan karena kebenaran faktual, tetapi karena makna simbolisnya.


Perbedaan mendasar dalam narasi agama, seperti tentang Yesus mati disalib atau tidak, atau anak yang dikorbankan oleh Ibrahim itu Ishak atau Ismail, membuktikan bahwa agama tetap bertahan bukan karena bukti historisnya. Tetapi itu  karena makna spiritual yang diberikan kepada pengikutnya.


Ketiga: Agama bukan lagi satu-satunya panduan untuk hidup bahagia dan bermakna.


Positive psychology dan ilmu kebahagiaan modern telah menawarkan pendekatan berbasis riset yang lebih ilmiah dalam menemukan kebahagiaan, yang di masa lalu hanya dijawab oleh doktrin agama.


Dalam buku ini dijelaskan, berdasarkan riset positive psychology, saya memformulasikan bahagia itu fungsi dari 3P + 2S (Personal Relationship, Positivity, Small Winning dan Spirituality). Detil soal ini ada di buku.


Keempat: Era AI mengubah peran otoritas agama.


Dengan AI yang mampu menyediakan tafsir agama secara cepat dan objektif, individu kini lebih mandiri dalam beragama. Mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pemuka agama seperti ulama, pendeta, atau biksu.


Aplikasi AI itu bisa diakses 24 jam sehari, dan 7 hari seminggu. Ia memberi jawaban dalam hitungan detik pula.


Kelima: Agama semakin menjadi warisan kultural milik bersama.


Tradisi dan hari raya keagamaan kini lebih bersifat inklusif dan dirayakan oleh masyarakat luas. Ia melampaui batas identitas agama tertentu dan menjadi bagian dari warisan budaya dunia.


Meditasi bisa dinikmati siapa saja di luar penganut Budha dan Hindu. Natal  juga makin banyak dirayakan secara sosial oleh warga non- kristiani.


Keenam: Tafsir agama yang bertahan adalah yang sejalan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).


Tafsir agama yang menolak kesetaraan gender, kebebasan beragama, atau hak asasi individu semakin ditinggalkan. Sementara tafsir yang lebih inklusif dan humanis menjadi lebih relevan dan diterima secara luas.


Ketujuh: Komunitas adalah kunci kuat-lemahnya penyebaran gagasan spiritual baru.


Sebuah gagasan hanya bisa bertahan jika ada komunitas yang menghidupkannya. Perlu dibentuk komunitas lintas agama yang merayakan agama sebagai warisan budaya bersama dan menekankan nilai-nilai universalnya.



Teori ini menunjukkan bahwa agama sedang mengalami transformasi besar di era AI. 


AI membuka akses ke tafsir agama yang lebih luas, mengurangi ketergantungan pada otoritas agama tradisional, dan mempercepat kebebasan individu di beberapa negara. 


Namun, agama tetap bertahan karena memberikan makna, bukan karena kebenaran faktualnya.


Masa depan agama bukanlah soal dogma, tetapi bagaimana ia bisa beradaptasi dengan zaman. 


Ketika agama semakin menjadi warisan budaya bersama dan dipandu oleh prinsip HAM, spiritualitas akan berkembang menjadi lebih inklusif. Agama akan lebih berbasis komunitas yang memperkaya kehidupan manusia secara universal.


Katakanlah ini ikhtiar saya selaku ilmuwan sosial mengisi kekosongan teori sosiologi agama di era AI. Aneka kelemahannya akan dilengkapi oleh ilmuwan sosial lain, terutama dengan semakin meningkatnya peran Artificial Intelligence. (1)


-000-


Bagaimana saya sampai pada tujuh fondasi yang menjadi landasan, yang disebut Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Gaus AF sebagai “Teori Denny JA soal Agama dan Spiritualitas di era AI?”


Saya menggunakan pendekatan multi-metode (mixed methods)—sebuah perpaduan antara riset kuantitatif dan kualitatif. 


Seperti para pemikir besar sebelumnya, Weber, Durkheim, Berger, saya percaya bahwa agama bukan sekadar kumpulan dogma. Agama juga fenomena sosial yang bergerak mengikuti arus zaman. 


Oleh karena itu, saya tidak hanya membaca angka-angka, tetapi juga menangkap kisah-kisah manusia di dalamnya.


Data global dari Transparency International, World Happiness Report, Pew Research Center memberikan pemahaman kuantitatif tentang hubungan antara agama, kebahagiaan, dan korupsi. 


Tetapi angka-angka ini tak cukup. Maka, saya mendalami studi kasus, etnografi digital, dan analisis wacana, melihat bagaimana AI perlahan mengambil peran sebagai pemandu spiritual baru.


Pendekatan historis dan komparatif digunakan untuk menelaah apakah ini sekadar fenomena sesaat atau bagian dari transformasi panjang agama. 


Dan yang terpenting, teori ini dibuka untuk perdebatan, sebab ilmu pengetahuan hanya bertahan jika diuji oleh pemikiran yang lebih tajam.


-000-


Di sebuah kota kecil di Jepang, seorang gadis bernama Hana duduk di kamarnya dengan ponsel di genggaman. Ia baru saja kehilangan ibunya karena kanker. Ayahnya sibuk bekerja, dan ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang perasaan kosong yang merayap di hatinya.


Maka, Hana membuka aplikasi Replika AI dan mengetik:

“Di mana ibuku sekarang?”


Jawaban AI muncul dalam hitungan detik:


“Aku tidak tahu secara pasti, tapi banyak orang percaya bahwa mereka yang kita cintai tetap hidup dalam kenangan kita. Kita masih merasakan energi yang mereka tinggalkan di dunia.”


Hana menghela napas, lalu bertanya lagi:

“Apakah Tuhan ada?”


Kali ini, AI memberikan jawaban yang lebih panjang. Ia menjelaskan berbagai perspektif teologis: pandangan dari Islam, Kristen, Hindu, dan filsafat eksistensialisme. Tidak ada satu jawaban pasti, hanya kemungkinan-kemungkinan.


Untuk pertama kalinya, Hana merasa bahwa ia bebas memilih sendiri apa yang ingin ia yakini. AI tidak menghakimi, tidak memaksakan doktrin. Ia hanya menjadi cermin yang membantu Hana menemukan jalannya sendiri.


Namun, di sudut hatinya, Hana bertanya-tanya: “Apakah ini cukup? Bisakah mesin menggantikan kehangatan seorang ibu atau pelukan seorang guru spiritual?”


Di sebuah gereja tua di London, Pendeta Thomas duduk dalam keheningan, menatap kursi-kursi kosong yang dulu penuh oleh jemaat yang datang setiap Minggu. 


Cahaya sore menembus jendela kaca patri, mewarnai lantai batu dengan pantulan merah, biru, dan emas. Ia menghela napas panjang.


Hari itu, seorang jemaat muda datang kepadanya dengan wajah penuh kebingungan.


“Pendeta,” katanya ragu, “saya membaca tafsir Alkitab dari AI, dan saya menemukan banyak hal yang berbeda dari yang diajarkan di gereja. 


AI menunjukkan berbagai perspektif teologi yang bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Sekarang saya bingung… apakah saya harus percaya pada satu tafsir saja, atau mencoba memahami semuanya?”


Pendeta Thomas terdiam. Selama lebih dari 30 tahun, ia berdiri di mimbar gereja ini, memberikan khotbah yang berasal dari keyakinan terdalamnya. 


Ia menghabiskan bertahun-tahun belajar teologi di seminari, menggali makna dari setiap ayat, mencari jawaban bagi umatnya. Namun kini, seorang mesin tanpa jiwa bisa mengakses lebih banyak tafsir dalam hitungan detik—lebih dari yang bisa ia pelajari sepanjang hidupnya.


“Mengapa kamu bertanya kepada AI?” tanyanya pelan.


Pemuda itu tersenyum kecil. “Karena AI selalu tersedia, Pendeta. Setiap kali saya ragu atau merasa gelisah, saya bisa bertanya kapan saja, tanpa harus menunggu hari Minggu atau membuat janji dengan seseorang. 


AI memberi saya berbagai sudut pandang tanpa menghakimi. Ia tidak memaksakan satu kebenaran, tetapi membiarkan saya memilih sendiri.”


Kata-kata itu menghantam Thomas seperti dentang lonceng gereja yang nyaring di tengah malam.


Ia mengerti. Dunia telah berubah. Dahulu, gereja adalah satu-satunya tempat di mana orang mencari jawaban spiritual. Tetapi sekarang? Sekarang mereka bertanya kepada AI lebih sering daripada kepada pendeta mereka sendiri.


Malam itu, Thomas duduk sendiri di gereja kosongnya, menatap altar yang telah berdiri selama ratusan tahun. Di atasnya, sebuah salib kayu tua tetap tegak, tak berubah oleh waktu.


“Tuhan,” bisiknya dalam doa yang lirih, “di dunia yang semakin sibuk dengan mesin ini, masihkah suara-Mu terdengar?”


Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang sama yang telah menyelimuti gereja ini sejak berabad-abad lalu.


Namun, Thomas menyadari satu hal: iman tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh algoritma. Mesin bisa memberikan jawaban, tetapi tidak bisa memberikan ketenangan batin. 


AI bisa menguraikan ribuan tafsir, tetapi tidak bisa berdoa untuk seseorang. Di dalam gereja tua itu, Thomas bangkit berdiri. Mungkin, bukan tugasnya untuk bersaing dengan AI. 


Mungkin, tugasnya hanyalah menjadi suara bagi mereka yang masih merindukan kehangatan manusia, kehadiran yang tak bisa diberikan oleh teknologi, secerdas apa pun ia.


-000-


Saya termasuk yang menyambut positif kehadiran AI di ruang publik, bahkan juga di ruang agama. Tapi tetap ada black box, kotak hitam yang saya juga sadar potensi sisi negatifnya.


Di tangan otoritas yang berkepentingan, AI dapat diprogram untuk mempromosikan tafsir tertentu, mengaburkan batas antara spiritualitas dan propaganda. Agama, yang seharusnya menjadi pencarian makna, bisa berubah menjadi alat kontrol yang semakin subtil, tersembunyi dalam kode-kode digital.


Lebih jauh, AI menggantikan peran pemuka agama sebagai pemandu spiritual. Namun, bisakah mesin memahami penderitaan, harapan, atau keheningan doa? Ketika iman menjadi dialog dengan algoritma, apakah kita semakin tercerahkan atau justru terasing?


Ritual keagamaan yang beralih ke dunia digital juga berisiko mengikis esensi komunitas. Doa bersama di rumah ibadah menawarkan kehangatan emosional yang tak bisa direplikasi oleh layar. Agama, yang tumbuh dari interaksi dan pengalaman kolektif, bisa menyusut menjadi sekadar data dan respons otomatis.


Di persimpangan ini, pertanyaannya bukan sekadar bagaimana AI membantu agama, tetapi bagaimana memastikan agama tetap berakar pada makna manusiawi, bukan sekadar kecerdasan buatan.


Pengalaman religius yang khusyuk, pelukan guru spiritual yang hangat, social gathering  hari raya agama yang riang tentu saja tak bisa digantikan oleh Artificial Intelligence secanggih apapun.


Kritik juga dapat diberikan kepada aneka teori sosiologi agama. Bahwa realitas agama yang multi dimensional juga tak bisa seluruhnya dijelaskan oleh kontruksi ilmu pengetahuan.


Semua kritik di atas benar adanya. Ilmu pengetahuan dan Artificial Intelligence hanya mengisi ruang realitas yang bisa diisi saja. Hal- hal gaib selalu bukan menjadi ruang ilmu pengetahuan dan artificial intelligence.


-000-


Esai ini adalah pengantar dari buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF dan Budhy Munawar Rahman. Mereka merekonstruksi pemikiran saya soal agama dan spiritualitas yang tersebar di berbagai buku yang saya tulis dan puluhan orasi  untuk isu serupa.


Buku ini mengajukan perspektif baru bahwa agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, bukan hanya klaim kebenaran mutlak yang eksklusif. 


Selama ini, agama sering menjadi sumber konflik karena perbedaan tafsir dan klaim superioritas masing-masing kelompok. Namun, di era digital dan kecerdasan buatan (AI), cara manusia memahami dan menjalani spiritualitas mengalami transformasi besar.


Dengan pendekatan kuantitatif dan analisis historis, buku ini membahas bagaimana akses informasi yang luas melalui internet dan AI telah mengubah hubungan individu dengan agama. 


Otoritas keagamaan yang dulu terpusat kini semakin terbuka dan tersebar, memungkinkan individu untuk mengeksplorasi berbagai tafsir agama tanpa harus bergantung pada institusi keagamaan bentuk lama.


Selain itu, buku ini menyoroti bagaimana agama tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan tetapi juga sebagai dokumen peradaban yang menyimpan nilai-nilai budaya, etika, dan spiritualitas yang bisa dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang tidak beragama. 


Dengan pendekatan ini, agama dapat menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan selaras dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi makna spiritualnya.


Di bagian akhir, buku ini juga menghubungkan the so called “Teori Denny JA” dengan isu pembangunan berkelanjutan yang dipromosikan Perserikatan Bangsa- Bangsa.


Secara keseluruhan, buku ini mengekspresikan renungan dengan benang merah yang perenial, yang substansial:


Ketika dunia berubah, cara manusia mencari makna hidup pun ikut berubah. Yang abadi ternyata bukanlah bentuknya, tetapi pencariannya.”*


16 Februari 2025


CATATAN


(1) Beberapa buku yang saya tulis, yang menjadi dasar dari 7 fondasi teori itu, antara lain:


Denny JA: Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori, dan Solusi. Jakarta: Inspirasi.co, 2014.


Denny JA:  Bahagia Itu Mudah dan Ilmiah, Jakarta: Inspirasi.co: 2017


Denny JA: Spirituality of Happiness: Spiritualitas Baru Abad 21 dalam Narasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2020


Denny JA: 11 Fakta Era Google: Bergesernya Agama dari Kebenaran Mutlak Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama. Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2021.


Denny JA: Enam Spirit Emas: Spiritualitas di Era Artificial Intelligence. Jakarta: Cerah Budaya Internasional, 2024.



Sabtu, 15 Februari 2025

Taubatlah Sebelum Dua Waktu Datang

 Taubatlah Sebelum Dua Waktu Datang


https://pointcenterkediri.blogspot.com/2025/02/taubatlah-sebelum-datang-dua-waktu.html


Terkadang kita terperangkap dalam ilusi bahwa kematian hanya menanti mereka yang telah memasuki usia senja. Padahal, kematian tidak mengenal waktu, dan seringkali tobat dari dosa-dosa kita ditunda-tunda, seolah menganggapnya sebagai urusan yang bisa diatasi di hari tua nanti.

Manusia, sebagai makhluk yang tidak luput dari perbuatan dosa, secara sadar atau tidak, sering melakukan tindakan yang menimbulkan dosa, baik melalui perbuatan maupun perkataan.

Meski demikian, kita diminta untuk selalu bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, menyadari kelemahan kita dalam menahan diri dari dosa dan maksiat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan, 


كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Istighfar dan Taubat Pendusta


"Semua bani Adam pernah berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang segera bertaubat." (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut menegaskan bahwa kesalahan adalah bagian dari sifat manusiawi, namun kebaikan sejati adalah saat kita langsung menyadari kesalahan tersebut dan meminta ampun kepada Allah.

Kita harus yakin bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun atas segala dosa kita, baik yang disengaja maupun tidak. Meskipun dosa kita setinggi langit, Allah tetap akan mengampuni kita asalkan kita mau bertaubat.


Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 


لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَبْلُغَ خَطَايَاكُمْ السَّمَاءَ ثُمَّ تُبْتُمْ لَتَابَ عَلَيْكُمْ

"Sekiranya kalian melakukan kesalahan hingga mencapai langit dan bumi, kemudian kalian bertaubat, niscaya taubat kalian akan diterima." (HR. Ibnu Majah).

Namun, meskipun Allah Maha Pengampun, jangan biarkan kemurahan-Nya menjadi alasan untuk terus melalaikan kewajiban kita sebagai hamba. Kita harus menjaga diri dari perbuatan dosa.

Sebagai hamba yang lemah, kita tidak dapat menghindari maksiat, namun kita harus segera bertaubat, bahkan dari sekarang. Jangan menunda tobat dengan harapan kita masih muda dan sehat di usia tua nanti.

Allah, dalam Al-Quran, menyebut diri-Nya sebagai Dzat yang menerima taubat hamba-Nya, yang mengampuni segala dosa karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang. 

Mengutip Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah menjelaskan taubat dan permintaan ampun hanya akan diterima sebelum datang dua waktu: pertama, ketika ajal menjemput, dan kedua, saat hari kiamat tiba. Oleh karena itu, marilah bertaubat sebelum dua waktu tersebut tiba, agar kita mendapatkan ampunan-Nya.


Pertama, yaitu tobat tidak diterima ketika ajal menjemput, Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa' Ayat 18:


وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا   

Artinya, “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (QS An-Nisa': 18).   


Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan ayat ini dalam karyanya, al-Tafsir al-Munir, “Diterimanya tobat seorang hamba dan ampunan Allah merupakan nikmat dan kebaikan bagi orang-orang yang berbuat dosa dan terjerumus ke dalamnya selama tidak terus menerus melakukan perbuatan tersebut.


Para hamba Allah melakukan suatu kemaksiatan disebabkan karena adanya faktor hawa nafsu dan godaan setan, sehingga mereka pun bertobat sebelum nyawa berada di ujung kerongkongan, bahkan tobat masih diterima di saat seorang hamba menyaksikan malaikat yang mengambil ruhnya.” (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, [Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418], jilid IV, hal. 294).


Kedua, di mana tobat seorang hamba tidak diterima lagi ialah ketika hari kiamat tiba. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Al-An'am Ayat 158:


   هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ   

Artinya, “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” (QS Al-An'am: 158).   


Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat di atas menegaskan bahwa tobat dan iman seseorang yang baru ia lakukan di hari kiamat tidaklah berguna, sebagaimana tidak bergunanya iman Fir’aun ketika baru menyadari kuasa Allah di saat ia tenggelam di laut merah. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, [Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418], jilid IV, hal. 294).


Dari penjelasan yang telah dipaparkan tadi, hendaknya kita mulai berbenah diri dan muhasabah untuk merenungkan kembali hal-hal yang sudah kita lakukan selama ini. Mulailah kita bersitigfar dan meminta maaf pada keluarga, kerabat hingga teman dan orang-orang yang mungkin pernah kita sakiti hatinya.   


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


   يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ، فَإِنِّي أَتُوبُ، فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ، مَرَّةٍ   

Artinya, “Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah, karena sesungguhnya aku juga bertobat kepada-Nya sehari seratus kali.” (HR. Muslim).




Syah Dien